[ONESHOT] We Are Infinite

WE ARE INFINITE

-azureveur

© 2013

.

.

.

Aku memang harus pulang; tak pelak beringsut ke tempurung otakku sebelum Crichton[1] menjadikannya base camp kedua tempatnya meletakkan beradaban robot nano itu dari gurun Nevada. O, lantas bagaimana dengan Grisham[2]? Firma asuhannya bahkan masih bersoliter di sudut neuron alih-alih mengizinkan sistem sarafku menjalankan eksodusnya ke dendrit.

Dua nama itu bak tercetak di obituari kota; terus teringang; berkumpar dan kalau bisa, jungkir balik mirip onggokan janin. Crichton, Grisham, lantas aku hendak membangun konstelasi hibrida yang memadu balada laut Hemingway[3].

Tidak mudah memang. Aku membutuhkan asupan lain berawalan ‘k’. K pertama dengan imbuhan vokal lain, hingga terbaca: “kafein”. Jessica Jung memang tengah membutuhkan sebungkus Tassimo dan menghirup uap pertama dari pelipir cangkirnya dalam-dalam.

Sebut saja aku sedang alergi dengan kata, tapi Changmin, senior sembrono itu, berkata tak ada penulis yang pernah alergi dengan kata. Paradoks yang sungguh pelik. Aku memang merasa ada yang tak beres. Tiga hari tak menatap berkas mentari, well, itu bukan masalah, toh Tribeca memang tengah dirisaki tangis langit. Tapi tak serta-merta ‘kan otakku mengambil konklusi mengenai alergi kata?

Tanganku masih mencoba menggapai mug porselen itu di antara onggokan buku. Ups, nyaris saja. Pantat lencirnya bergulir-gulir. Isinya, yang tinggal separuh, hampir menggelontori berkas Emerson dari kelas sastra minggu lalu. Mereka tak seyogianya berada di sana. Bukankah aku sudah meletakkannya di lemari kayu dekat partisi pintu? O, demi Tuhan. Kesadaranku pasti tengah dikompulsi dedemit hingga berada dalam dunia nirsadar.

Dan ke mana lodongku yang berisi Tassimo itu? Jangan katakan bahwa persedianku nyaris tandas. Jelas saja itu yang terburuk. Gagasan terpilon dari perjalanan kaki telanjangku menuju pantry.

Krasak. Krusuk. Eugh. Aku melongok ke dalam cupboard. O, benar saja, yang tersisa tinggal serbuk-serbuk tak berguna di dasar silindris transparan itu. Siang yang elok, mungkin aku terpaksa harus menggauli buku-buku Hemingway untuk kedua kali tanpa secangkir kopi.

Aku menghela napas berat. Jemari mengetuk-ngetuk pelipir mug. Opsi yang sukar; aku tidak bisa berpelesir sedetik pun demi ke toserba sebelah, membeli selusin Tassimo. Dan lantas?

“Sica?” Panggilan itu sekonyong-konyong menyembul dari balik pintu. “Kau pasti membutuhkan ini?” Tangan jenjang Shim Changmin mengangsurkan sesuatu. Tepat seperti yang kuprediksi sebelumnya; Changmin dan layanan telepatinya. Tanpa derit engsel atau pun derap-derap becek bekas aspal basah. Ia tahu kombinasi angka kondominiumku.

Aku tak lantas menjawab tawaran itu alih-alih berlari menggerayangi linoleum berduli dan merebut bungkusan kertas dari tangannya.

Kehadirannya tentu bukan hal yang tidak biasa. Sosok jangkung berbalut jaket flanel garis itu adalah tetanggaku. Satu kondominium di samping, lalu kompartemen berlemari piringan vinyl itu jelas miliknya.

Changmin menggelengkan kepala tak percaya. Headset-nya masih terpasang di cuping telinga. Alunan sinkopasi pop Engelbert Humperdink membersil dari speaker berdiameter mili.

“Ergh, kau lupa membersihkan tempat ini sejak sebulan lalu ya?” Changmin mengenyakkan tubuh di atas sofa. Menjawil sedikit sisi kiri, hingga kelompok duli bergunduk di ujung jemarinya.

“Entahlah.” Aku mengedik; sembari berjalan santai ke arah konter pantry, menciduk bubuk cokelat pemberiannya ke dalam mug.

“Dan—o, Sica! Bukankah itu pakaianmu tiga hari yang lalu?” Ia menunjuk ke arah kamisolku. Aku melirik sekilas kain ketat berwarna gelap itu, lalu mendongak ke arahnya acuh tak acuh.

“Er? Sejak kapan kau memperhatikan perawakanku, huh?” cericipku, menuang air panas dari kettle elektrik.

“Jangan menghindar,” hardiknya.

“Lantas apa tujuanmu bertandang kemari?”

“Aku baru saja menghibahkan sedikit persediaan bubuk Hershey-ku, asal kau tahu.” Ia mengganjur salah satu novel teranyarku di deretan atas. Menelaah judulnya, di bawah tulisan Emily Brontë—tulisan terabsurd sepanjang masa, menurutku.

“Ingin pinjam?”

“Eh?” Ia memandangku sekilas. “Meminjam novel ini maksudmu?”

“Iya. Tulisan terpayah sepanjang masa.” Well, itu bodoh. Tidak seharusnya aku mengucapkan itu. Terlebih pada karya krusial milik keluarga Brontë.

“Ah. Aku sudah membacanya. Intrik balas dendam Heathcliff …” Changmin mulai berceloteh mengenai tokoh kesayangannya—Heathcliff. Biar saja.

Aku bergumam asal, tak mengacuhkan kata-katanya; lebih memilih menduduki kursi putar di depan komputer dan menarik sebelah kaki hingga ke dada.

“Hei, Sica. Kau mendengarku ‘kan?”

Jantungku nyaris mencelus. Rasanya lima detik lalu, ia melesak di busa sofa. Changmin sekonyong-konyong berdiri di pemburit kursi. Lengannya kini ditekuk separuh, menyandar di partisi meja.

“Er?!” Aku terhenyak. “O, agaknya aku membutuhkan waktu sendiri, Changmin-ah.” Aku yakin, ia pun sudah terbiasa dengan usiran itu ketimbang mendengar kata “terima kasih” mencuat dari mulutku.

“Benarkah?” Tapi kali ini ia berbeda. Senyum sok benar yang tercetak di ekor bibirnya. Jemari kurus itu menggenggam mug milikku.

“Hei, apa yang hendak kaulaku—” Mataku membeliak.

Changmin sungguh mereguknya. Sialan. “Kau bisa membuat cokelat pribadimu daripada mencuri sesapan dariku!”

Ia tergelak. Dan itu sama sekali tidak lucu.

Aku mendengus. “Tidak ada yang lucu, Min-ah. Kau tak mengatakan tujuanmu kemari. Bukankah hanya untuk mengirim paket Hershey itu padaku?”

“Tidak juga.”

Jika sebuah predikat “senior pelik” telah kusematkan bagi Changmin yang biasa, maka Changmin yang bertandang ke kondominiumku kala ini adalah sebuah kloning luar biasa. Lihat saja lagam lenggoknya. Kekehan tawa dibuat-buat tanpa maksud yang jelas. Langkah jenjangnya yang tertatih-tatih, melewati dus-dus raksasa di ruang duduk, lalu menyingkap tirai usang yang melurung lurus di kerai jendelaku.

“Ew! Changmin! Apa yang kaulakukan?” Mataku memicing sementara larikan cahaya itu merembes masuk dengan serta-merta.

“Bangun, wahai vampir kota!” Shim Changmin terkekeh geli.

“Aku—”

“—jangan menjelaskan padaku, kau tengah mengalami alergi kata, Sica.”

Entah Changmin tahu dari mana mengenai istilah di kamusku. “Hentikan! Tutup kembali tirainya, Changmin!” ringkingku, berlari ke arahnya; menarik salah satu keliman tirai ke tempat semula.

Aku sungguh tidak tahan dengan perangainya. Alih-alih mendengar perintahku, ia malah memutar kenop jendela menuju balkon. “Hidup memiliki pilihan, Sica,” cecarnya.

Dan aku memilih untuk di dalam ketimbang merasakan teriknya udara Tribeca.

“Kemari!” Changmin serta-merta menarik tanganku.

“Min-ah! O, Tuhan. Hentikan!” jeritku. Balkonku hanya berukuran dua kali dua. Sempit bukan kepalang, terlebih jika disarati seorang dewasa dan manusia kelewat jangkung seperti Changmin. Etape ringkas itu tak ayal memaksa perutnya menekan punggungku.

Aku tepekur.

“Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, tidak ada frasa semacam alergi kata.”

“Tentu saja, ada,” kilahku. “Kau belum melihat deadline-ku ‘kan? Agensi sinting itu menetapkan tanggal dua dan itu berarti dua minggu lagi; fiksiku berada di bab tujuh.” Aku menggerundel panjang lebar.

“Lalu?”

“Crichton, Grisham, dan Hemingway,” tandasku.

“Kau berusaha mengombinasikan semuanya?”

Kepalaku berjengit. Raut lesu dan dahi berkerut-merut. Jelas aku gagal. Banjaran kata itu bahkan tak lebih dari sintaksis salah eja di benakku.

Well, aku tak bisa menyalahkanmu soal hal itu. Tapi kau terlalu membatasi diri. Partisi tiga itu hanya dirimu yang tahu, namun sesungguhnya kita tak memiliki batas.”

“Maksudmu?”

“Bebas berimajinasi? Kau tak harus menyontek ketiganya jika bisa menjadi dirimu sendiri,” Changmin berbisik, tangannya menelikung ke belakang. Entahlah. Ia merogoh sesuatu dari saku jinsnya. “Seperti halnya menatap langit. Kau, yang berada di horizon, bebas mendaki naik. Bukannya berjalan di setapak raya dan berhenti di garis cakrawala.”

Kurasa ia benar.

Changmin memang pelik dan tidak keren; rambutnya yang disisir kelimis; kacamata raksasa yang terkadang bertengger di tungkai hidungnya, anti-rokok (remaja Tribeca selalu menyebut orang-orang seperti itu kurang memiliki daya tarik); walkman-nya yang berteknologi kaset putar. Tapi, Shim Changmin salah seorang sosok fenomenal yang kukagumi—setelah antalogi fiksinya berhasil merangsek pasar buku Tribeca, tidak sepertiku yang bertaraf komunitas kampus.

“Kau baru menjual buku antalogi kata-kata bijakmu ya?” semburku.

Changmin ikut terkekeh. “Bisa dibilang begitu. Jadi, apa kau ingin merayakannya?” Ia mengeluarkan kertas lisut itu dari balik punggung.

“Bersamamu?” Alisku berjingkat. “O, tidak… tidak.”

“Mengapa begitu?” Lagi-lagi kepalanya melongok ke depan. Rambutnya yang sengkarut beradu lebat dengan deraan angin.

Jangan bersenda. Pembacaan resolusi tahun baru itu kepalang konyol untukku.

“Apa lagi yang kau tunggu, Sica? Sudah jelas, alergi kata itu akibat otakmu yang mengendap bersama hawa pengap kondominiummu.”

Well, kau benar. Tapi aku takkan datang ke acara itu.” Telapak kakiku mengelus-elus birai balkon. Merasa tak yakin akan apa yang harus kukatakan.

“Karena kau membuang kertas resolusimu?”

“Er?” Leherku tersendak mundur. Mendongak-dongak hingga mataku dan Changmin bersirobok.

“Jessica Jung. 31 Desember 2012. Aku berharap ada yang menuntunku menuju kebebasan.”

Agaknya Changmin tak memerlukan konfirmasi sekadar membuatku tergugu. Aku mendengar derak giginya; ia tersenyum. Dan menyelipkan lintingan kertas renyuk itu di tanganku.

-fin.


[1] Michael Crichton; salah satu penulis bestseller dari Amerika Serikat, salah satu karyanya adalah seri sci-fi “The Jurasic Park” yang telah diadaptasi ke layar kaca oleh Steven Spielberg.
[2] John Grisham; seorang politisi, pengacara, dan penulis asal Amerika Serikat yang dikenal dengan karya fiksi bergaya legal thrill.
[3] Ernest Hemingway; penulis dan jurnalis asal Amerika; merupakan salah satu sastrawan ternama yang karyanya banyak dijadikan panutan oleh para sastrawan modern.
.
.

A/N: Tulisan pelik ini ditulis oleh sang pengidap alergi kata. Dan pairing tak biasa di dalamnya adalah akibat nostalgia semata di era 2007. Terima kasih untuk Ed Sheeran dan kompilasi + yang sangat indah. “We Are Infinite” sendiri dikutip dari seorang Stephen Chbosky.

15 comments

  1. aaaahhh … baca ini rasanya seperti kembali saat-saat aku masih kuliah. Bronte, Hemmingway, haha .. dan aku ngakak saat baca pendapat Jessica soal Wuthering Heights! Yeah, dia nggak seharusnya bilang Bronte itu payah, tapi aku setuju kalau Wuthering Heights itu memang cerita paling absurd yang pernah aku baca LOL

    Dan aku juga baru nyadar soal ‘we are Infinite’ ini diambil dari ‘the perks of being wallflower’ ya,, keren banget kamu menyampaikannya, .. inspirasi bisa datang dari mana saja, dan bahwa imajinasi kita sesungguh tidak terbatas, gitu kan maksudnya?

    ah, eniwei, Tribeca di sini itu maksutnya Triangle below Canal Street di New York itu kan? kamu habis baca buku apa sih kok sampe kepikiran bikin cerita ini? what a great job, Ching! Maknanya, idenya, penulisannya.. you’re a genius! 😀

    Like

    1. Eh, iya. Kakak kuliah sastra Amerika gitu kan ya? *aku ingin masuk jurusan ituuu* terima kasih banget lho, Kak. Hahaha. Setuju banget. Wuthering Heights itu aneh-aneh tapi rame sih (apadeh ini). Cara penyampaian ceritanya itu lho, unik banget.

      Ah, hahaha. Saia sukaaa banget quotes itu malah, Kak. Sesuatu yang simpel tapi kaenya gak pernah disadari soal ketidakterbatasan imajinasi sendiri. Seperti halnya si Charlie dalam The Perks of Being Wallflower yang suka gak pede sama hasil tulisannya sendiri.

      Benar sekali. Yang itu maksud saia hahaha.
      Saia gak bisa baca buku apa-apa, Kak (gegara alergi kata). Makanya saia nulis ini 😀

      Terima kasih bangeeet, Kak.

      Like

  2. Jujur. . Bingung pada awalnya, krn saya bukan penulis, cuma skdar penikmat tulisan saja,jadi agak bingung dgan be2rapa istilah disitu. “̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ “̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ
    Tapi dari ptgahan sampe akhr bagian dari Oneshot ini saya mulai sedikit bisa paham perasaan Jes yg lg stuck.
    Btw. . Couple 2007? ?jangan bilang ini couple Anycall itu? Yg Junsu gak ada pasangannya yah?

    Like

    1. Er, maaf untuk bahasanya yang rada sadis ini. Otak saia juga lagi absurd saat menulisnya. Tapi terima kasih lho sudah membaca.
      Benar sekali. Kopel yang itu hehehe.
      Ternyata ada yang masih inget.

      Like

  3. baca tulisan kamu itu selalu bikin dahiku berkerut karena hampir selalu nemuin kata2 baru yg padahal sebenernya nggak baru juga, hehehe.. well, kalo mba Dista belum komen ttg meaning tulisan ini, aku yakin aku gak akan bener2 ngerti maksud tulisanmu ini apa, hehehe.. but still, aku selalu takjub sama diksi dan ketelitianmu saat menulis..^^

    Like

    1. terima kasih sudah membaca.
      ah, iya ini maknya memang tersirat, di dalam filosofi terus agak aneh pula ya *nah lho*
      hahahaha. maaf ya, buat bahasa yang aneh dan susah dimengerti.

      Like

  4. Kamu umurnya berapa sih? Tulisannya bagus banget 😀 walaupun awalnya rada bingung but nice job 😉
    Yah kirain itu Changmin-Jess bakal keluar buat ngilangin suntukny Jess tp ternyata berakhir setelah pemberian itu ya XD
    Baru sekali baca couple ini, kyk majikan-pembantu deh #plak

    Like

    1. Eh, tumben ada yang nanya umur 🙂 umur saia 18. Hehe. Sudah tua di antara golongan muda.
      Ah, iya. Maaf untuk kata-kata prolognya yang agak membingungkan. Ah, nggak sih. Pengennya juga begitu, tapi sepertinya setelah dipikir-pikir, saia mau bikin ff yang sifatnya vigenette aja (jadi menyorot saia segemen).
      Eh? LOL. Masa? Ini couple sungguh tenar di iklan Haptic Anycall lho pas taun 2007 dulu. Dan saia kangen, makanya dibikin deh jadi ff.

      Terima kasih sudah membaca.

      Like

  5. Hoho, wattaaaa~
    Banyak kosakata baru, dan untungnya, karena saya pecinta novel terjemahan Amerika jadi bisa mengerti jalan ceritanya dan tentu dong, sangat menikmati ceritanya. Ini cerdas, oke. Maksudku, ide yang ringan bisa menjadi sepelik ini dan dikemas dengan gaya Azura banget. Menyinggung masalah yang kebanyakan melanda penulis, semacam writer block, dan paling utama itu: plagiat. Memang yang dibahas di sini bukan nyontek keseluruhan sih, tapi ini memang kebanyakan dialami penulis. Secara tidak sadar mengikusi gaya tulisan penulis favoritnya. Dan endingnya, waaaaa~ Saya tiba” jatuh cinta sama karakter Chansung disini, sama pesan”nya, sama Azura juga *eh?*
    Nah, mau bilang apa lagi ya? Hm, baru tau kalo Chansung-Jessica pernah couple haha. Entah, saya tidak mendapatkan feel dari mereka, hoho
    *apelah* komenku kepanjangan sepertinya, dan next fiction ditunggu yaaa~

    Like

  6. Insomnia..,jd kuputuskan utk jln” sbntr dsni , bukan bikin ngantuk malah bikin mataku membeliak gk pake horor /plakk

    astagaaaa….kakak ini titisan einstein ya eoh?!
    emang jago bikin cerita pake bhs pelik gini ckck …cakep deh pokoknya ❤

    kakak pinter masukin minnie jd main castnya /sama'' jenius ky' kakak
    jujur aja aku gk nyangka ,pas bc titlenya kupikir ini fic dr member infinite haha…/acung jempol

    well , aku baru tau klo orang pengidap alergi kata itu bs melahirkan cerita yg memukau…so tularin influence nya dunk sist…XD /jk alergi berlanjut aku hubungi kakak lagi 8'D

    thank u sist, mian klo ripiunya pnjng kali lebar hmpir seluas dorm tvxq 🙂

    -xoxo-

    Like

Leave a comment